SAWITPOST.COM – Indonesia saat ini dan ke depan memiliki tantangan besar pada kemandirian pangan dan energi.
Perkebunan kelapa sawit bisa menjawab tantangan tersebut tanpa harus membuka lahan baru.
Hal itu dikatakan Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI) Kacuk Sumarto saat berbincang dengan media di Jakarta, Selasa (8/10/2024).
Menurut Kacuk, perkebunan kelapa sawit berkontribusi pada dua hal, yakni hasil komoditinya berupa minyak sawit.
Baca Juga:
Target Pencapaian Swasembada Pangan Maju Jadi Tahun 2027, Ini Penegasan Menko Pangan Zulkifli Hasan
Dan yang kedua berupa sumber daya lahan yang bisa ditanami dengan tanaman lain non sawit atau untuk pangan maupun energi terbarukan.
Setiap tahun, kata Kacuk, ada potensi lahan sekitar 1 juta hektare (ha) yang bisa digunakan untuk tanaman non sawit atau tanaman yang bisa menghasilkan pangan maupun energi terbarukan.
Potensi lahan seluas 1 juta ha dari perkebunan sawit tersebut berasal dari siklus peremajaan (replanting) tanaman kelapa sawit.
Perhitungannya, total kebun sawit di Indonesia saat ini sebagaimana dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) seluas 16,2 juta ha.
Baca Juga:
Kemenkeu Tarik Utang Rp438,1 Triliun, INDEF: Salurkan untuk Belanja Produktif agar Dukung Ekonomi
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Beri Penjelasan Jakarta Masih Berstatus Sebagai Ibu Kota Negara
Sementara siklus peremajaan sawit 25 tahun. Sedangkan program peremajaan setiap tahun ada sekitar 648.000 ha.
Potensi lahan tersedia untuk tanaman sela tiap tahun jika diberakan ada 240% dari 648.000 ha atau sekitar 1,5 juta ha, sementara jika tidak diberakan ada 140% atau sekitar 1 juta ha.
Angka tersebut didapatkan dari lahan 648.000 ha tersebut di tahun pertama ada potensi 70% yang bisa ditanami tanaman sela, tahun kedua turun menjadi 50%, dan tahun ketiga turun lagi menjadi 20%.
“Jadi 70% ditambah 50% ditambah lagi 20% menjadi 140%. Ini perhitungan kalau langsung ditanami.”
Baca Juga:
Seluas 338 Hektar, Koperasi Aroma Kelola Lahan Perkebunan Sawit Bekas Pertambangan Barubara
Dibandingkan Tahun Sebelumnya, Pertumbuhan Kredit UMKM pada September 2024 Cenderung Melambat
“Tapi kalau diberakan atau dibiarkan terlebih dahulu bisa 100% ditambah 140%, jadi ada potensi 240% dikalikan 648.000 ada sekitar 1,5 juta ha,” kata Kacuk.
Adapun potensi produksi per tahun dari lahan tersebut jika ditanami sorgum mencapai 8 juta ton (tidak diberakan), sedangkan apabila lahan tersebut diberakan bisa mencapai 12 juta ton.”
Jika lahan tersebut ditanami singkong berpotensi mendapatkan hasil sekitar 45 juta ton per tahun (tidak diberakan), tapi apabila lahan tersebut diberakan bisa mencapai 70 juta ton.
Apabila ditanami kedelai varietas Grobogan jika tidak diberakan mencapai 2,9 juta ton, sedangkan apabila diberakan berpotensi mendapatkan hasil 4,5 juta ton per tahun.
Kalau ditanami jagung bisa mendapatkan 8 juta ton (jika tidak diberakan), sementara jika diberakan bisa mencapai 12,4 juta ton per tahun.
“Tanaman sela sorgum, jagung, singkong dan kedelai tersebut sudah saya praktekkan di lahan perkebunan sawit milik PT Paya Pinang Group di Sumatera Utara.”
“Dan itu hanya menerapkan praktek budidaya tanaman yang biasa atau sederhana saja.”
“Kalau menerapkan praktek budidaya tanaman sela yang sudah bagus, pasti hasilnya lebih tinggi,” tutur Kacuk.
Menurut Kacuk, problem utama dari konsep optimalisasi lahan perkebunan sawit pada saat replanting ini adalah persoalan off taker atau siapa yang akan membeli dari hasil panen tanaman sela tersebut.
Karena itulah di sini perlu peran pemerintah untuk menugaskan Perum Bulog untuk menyerap hasil panen dari tanaman sela tersebut.
Namun jika tidak ada pihak yang bersedia menjadi off taker, maka Kacuk menyarankan agar hasil panen tersebut dikonsumsi untuk masyarakat sekitar kebun saja.
“Misalnya padi gogo yang ditanam di Kabupaten Serdang Bedagai, hasilnya dikonsumsi masyarakat sekitar saja, jangan dikirim ke Papua.”
“Atau beras dari Papua jangan dikirim ke Banda Aceh. Jangan seperti itu, karena ongkos logistiknya mahal,” katanya.
Dengan konsep ini, masyarakat sekitar kebun akan terjamin ketahanan dan kemandirian pangannya.
Selain itu mereka akan mendapatkan harga yang terjangkau karena biaya logistiknya murah. Masyarakat sekitar juga ada kegiatan ekonominya,” katanya.
Di sinilah konsep ini memiliki multiplier effect-nya tinggi. Nah, multiplier effect ini kalau di pedesaan akan menimbulkan ketahanan ekonomi.
Makanya dulu ada konsep ekonomi gotong royong itu adalah dari bawah ke atas.
“Dengan mengoptimalkan sumber daya lahan perkebunan sawit ini untuk mencapai kemandirian pangan sehingga tidak perlu membuka lahan baru lagi,” katanya.***
Sempatkan untuk membaca berbagai berita dan informasi seputar ekonomi dan bisnis lainnya di media Infoekbis.com dan Pangannews.com
Jangan lewatkan juga menyimak berita dan informasi terkini mengenai politik, hukum, dan nasional melalui media Bogorterkini.com dan Hallopresiden.com
Sedangkan untuk publikasi press release serentak di puluhan media lainnya, klik Rilisbisnis.com (khusus media ekbis) dan Jasasiaranpers.com (media nasional)
Atau hubungi langsung WhatsApp Center Rilispers.com (Pusat Siaran Pers Indonesia /PSPI): 085315557788, 087815557788, 08111157788.
Klik Persrilis.com untuk menerbitkan press release di portal berita ini, atau pun secara serentak di puluhan, ratusan, bahkan 1.000+ jaringan media online.
Pastikan juga download aplikasi Hallo.id di di Playstore (Android) dan Appstore (iphone), untuk mendapatkan aneka artikel yang menarik. Media Hallo.id dapat diakses melalui Google News. Terima kasih.